Dikutip dari:
HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz III, Suroh Ali Imron, Ayat 47
Pada Surat Kabar Mingguan Keng Po yang terbit 25 Maret 1956 dan 1 April 1956 ada disiarkan berita yang ganjil. Yaitu seorang bayi yang baru berumur 3 (tiga) bulan mengandung anak yang sudah berkaki bertangan. Bayi umur 3 bulan itu ialah anak seorang Sopir truck bernama Sanusi, tinggal di Kaum Kidul Cianjur. Bayi itu telah dioperasi di Rumah Sakit Ludwina, di Bunut, Sukabumi oleh Dr. H. G. R. Held. Berita ini tersiar dan dikutip juga oleh surat-surat kabar lain.
Niscaya lebih ganjillah hal anak usia tiga bulan mengandung ini, yang terjadi sama sekali bukan karena persetubuhan. Lebih ganjil dari pada berita Siti Maryam mengandung bukan karena persetubuhan pula, dalam usia yang sudah besar. Hal ini ganjil, luar biasa tetapi tidak mustahil pada akal.
Ketika tersiar berita anak tiga bulan mengandung itu, diketahui anak siapa dia yaitu anak Sanusi sopir truck, jelas alamat rumahnya dan terang dokter yang mengoperasi, orang tidak dapat lagi mengatakan bahwa berita itu adalah bohong. Dia telah kejadian, meskipun keheranan orang tidak hilang. Orang sudah menerimanya sebagai suatu kenyataan. “ALLAH BERBUAT SEKEHENDAKNYA.”
Selanjutnya: Jarang ≠ Tidak Masuk Akal, bagian 02
Untuk memudahkan memahami salah satu tafsir ayat dimaksud, marilah kita perhatikan sekali lagi Al-Imran (47) :Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia. Dalam menafsirkan ayat ini rupanya ulama besar kita (HAMKA) hanya menyampaikan peristiwa "serupa" yang seolah - olah tidak masuk akal, tetapi benar - benar terjadi. Menurut saya hal ini kurang tepat, karena tidak menyangkut substansi dari ayat tersebut. Tentang bayi 3 bulan yang mengandung, secara medis bukan bayi tsb yang hamil, melainkan semacam kembar siam yang menempel pada bayi tersebut, sekali lagi dalam hal ini peristiwa ini bukanlah tafsir dari surat Al- Imron (47). Menurut saya dalam memahami ayat tersebut banyak hal yang harus dipahami lebih mendalam, misalnya tentang : Malaikat, Allah berkata (berfirman), dsb; Jadi menurut saya yang harus dipahami lebih dulu hal yang lebih fundamental adalah sifat - sifat Allah, sifat Malaikat, Sifat Rasul, bila sudah ada persamaan persepsi tentang sifat - sifat tersebut, baru kemudian dilanjutkan pembahasan tentang hal lain yang lebih kompleks. Sebagai entry point kami mengusulkan agar diskusi dimulai dengan sifat Allah : Ahad (Esa/Widi/Tunggal), mengingat sifat Esa adalah sifat Allah yang paling haqiqi karena sifat ini menyertai (melingkupi) sifat Allah yang lain, Demikian Din tanggapan saya, bila setuju tentang tema yang diusulkan kami tungg tanggapan beiruktnya.
ReplyDeleteSebenarnya, penekanan dalam artikel ini adalah pada slogan Jarang tidak sama dengan tidak masuk akal, bukan menafsirkan satu ayat dari Suroh Ali Imron. Artikel ini hanya kutipan sebagian dari Tafsir Prof. HAMKA tentang Ali Imron ayat 47. Jadi, kurang bijaksana bila langsung menilai bahwa Prof. HAMKA keliru dalam menafsirkan ayat sebelum membaca lengkap tafsiran beliau di buku aslinya.
ReplyDeleteTerimakasih.
Matur suwun Din tanggapannya, kalau begitu saya terkecoh terhadap kalimat : HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz III, Suroh Ali Imron, Ayat 47, walaupun saya tidak mengatakan tafsir tersebut keliru, namun kurang tepat, karena dengan memahami kalimat pada baris pertama tersebut saya berasumsi bahwa contoh kejadian yang disampaikan merupakan salah satu bentuk tafsir dari ayat tersebut. Artinya dalam mamaknai tulisan yang disampaikan Udin saya berpendapat bahwa itu salah satu tafsir, sedangkan Udin menitik beratkan pada slogan : Jarang tidak sama dengan tidak masuk akal. Memang untuk menfasirkan subtansi ayat dimaksud perlu pendalaman atas setiap kata, misalnya pada kalimat :Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah",manusia akan sulit mencerna "Allah berkata", jangan dibayangkan seperti tukang sulap "bim salabim", karena Allah itu Maha Tinggi, Maha Agung, maka manusia tidak akan menggapainya, kecuali hanya CahaNya dan WajahNya, untuk memahami dua kata inipun kita harus paham betul sifat cahaya dan fungsi Wajah, karena dalam setiap kehendakNya pada setiap makhluqnya pasti melibatkan MalaikatNya (kecuali pada wahyu perintah sholat. Artinya agar penafsiran terhadap ayat - ayat alqur'an lebih mendekati realita (kebenaran, kita juga harus paham sifat MalaikatNya dan rasulNya.
ReplyDeleteDemikian Din, Untuk itu untuk pembahasan selanjutnya mungkin ada baiknya kita kaji sifat - Sifat Allah, MalaikatNya dan RasulNya.
Matur suwun.