Abu Yazid Al-Bustami (Bayazid) kadang-kadang dengan sengaja melanggar bentuk-bentuk lahir ajaran agama.
Suatu hari, ketika pulang dari Mekah, ia singgah di kota Rey, Iran. Penduduk kota yang sangat menaruh hormat kepadanya segera keluar mengelu-elukannya sampai seluruh kota menjadi gempar.
Bayazid yang tidak suka dengan 'pendewaan' semacam itu menunggu hingga ia sampai di pinggir pasar. Di sana ia membeli sepotong roti, lalu memakannya di muka umum. Padahal itu terjadi pada bulan puasa. Tetapi Bayazid yakin bahwa dalam perjalanan ia tidak terikat oleh peraturan tertentu dalam agama (rukhshatus safar).
Tetapi para pengikutnya tidak berpikir demikian. Maka mereka begitu dikecewakan oleh perbuatan itu sehingga mereka semua segera meninggalkannya dan pulang.
Dengan rasa puas Bayazid berkata kepada salah seorang muridnya, “Lihat, begitu aku berbuat sesuatu yang berlawanan dengan harapan mereka, rasa hormat mereka terhadapku hilang lenyap.”
Kebanyakan orang memerlukan seorang suci untuk “disembah” dan seorang guru untuk dimintai nasihat. Ada persetujuan diam-diam: “Engkau harus hidup sesuai dengan harapan kami, dan sebagai gantinya kami akan menghormatimu sedemikian rupa.”
Kadang-kadang ada juga yang katanya “komunitas spiritual”. Padahal di dalamnya hanya ada murid dan guru yang sama-sama bingung…
KH Taufik Damas Lc, Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta.
Saya salin dari: Abu Yazid Al-Busthami dan Permainan Kemuliaan - UNINUS
No comments:
Post a Comment